Mahasiswa Magister Hukum UI Soroti Kendala Penyelesaian Sengketa Tambang Raja Ampat melalui Hukum Adat
Raja Ampat, Radartipikor.com – Achmad Fikri Hehanussa, mahasiswa Magister Hukum Universitas Indonesia, menulis opini kritis mengenai problematika penyelesaian sengketa pertambangan di Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat, dengan pendekatan hukum adat. Menurut Hehanussa, meski Raja Ampat terkenal sebagai surga wisata bahari, potensi ekstraktif—termasuk tambang—membuka ruang konflik antara kebutuhan ekonomi nasional dan hak masyarakat adat atas wilayah mereka.
Konteks Konflik dan Rekomendasi Pemerintah
Hehanussa mencatat bahwa eksplorasi dan eksploitasi tambang kerap memasuki kawasan adat maupun area konservasi, menimbulkan ketegangan sosial, budaya, dan lingkungan. Menyikapi hal ini, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Bahlil Lahadalia, merekomendasikan penyelesaian sengketa melalui hukum adat—sebuah pengakuan penting terhadap eksistensi hukum adat dalam sistem nasional. Namun menurut Hehanussa, rekomendasi tersebut menimbulkan dua pertanyaan krusial: apakah pengakuan ini disertai tindakan nyata negara, atau justru menjadi sarana delegasi tanggung jawab penyelesaian konflik?
Risiko Delegasi Tanpa Dukungan Negara
Hehanussa menekankan bahwa tanpa kerangka hukum nasional yang kuat, penyelesaian melalui hukum adat membuka celah manipulasi norma adat, kooptasi elit lokal, dan praktik “kompromi terpaksa” yang merugikan komunitas luas. Ia mengutip Putusan MK No. 35/PUU-X/2012, yang menegaskan bahwa hutan adat milik masyarakat adat, bukan negara—namun, tanpa dukungan institusional (seperti yang diungkapkan pakar James Anaya), pengakuan formal semata tidak cukup mengamankan hak-hak adat.
Kebutuhan Hibriditas Hukum dan Prinsip Kehati-hatian
Lebih lanjut, Hehanussa menyoroti bahwa penyerahan penyelesaian sepenuhnya kepada hukum adat berisiko menciptakan standar ganda dan ketidakpastian—terutama dalam wilayah dengan status ekologi kritis seperti Raja Ampat. Ia mendesak penerapan hibriditas hukum: sinergi antara hukum negara (termasuk UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup) dan hukum adat, dengan negara mempertahankan peran utama dalam penegakan hukum, perlindungan HAM, dan pengawasan lingkungan. Prinsip kehati-hatian, kata Hehanussa, mensyaratkan keterlibatan aktif negara untuk mencegah kerusakan ekologis yang tidak dapat diperbaiki dan menjamin keadilan bagi masyarakat adat.
Penutup: Negara Tidak Boleh “Tikun di Lobang Yang Sama”
Hemat Hehanussa, penyelesaian konflik tambang di Raja Ampat tidak dapat diperlakukan sebagai “urusan adat” saja. Tanpa dukungan struktural dan pengawasan negara, delegasi tanggung jawab semata kepada hukum adat berpotensi memperparah ketidakadilan jangka panjang. Ia menegaskan, negara harus hadir secara nyata—bukan menarik diri—agar upaya pengelolaan sumber daya alam berskala besar memenuhi prinsip keberlanjutan, keadilan sosial, dan perlindungan hak-hak masyarakat adat.
(Opini: Achmad Fikri Hehanussa, Magister Hukum Universitas Indonesia)